Telepon Larut Malam

Telepon rumah berdering dari ruang tamu. Tak ada yang terburu-buru berlari mengangkatnya. Aku bahkan masih asyik sendiri di kamar. Begitu juga Ibu yang mengupas bawang di dapur dan si Adek yang menonton televisi di ruang keluarga. 

Satu menit berikutnya, telepon itu berhenti berdering.

Ah, tapi bukan berarti orang di sebrang sana juga telah menutup gagang teleponnya.

Aku mengenalnya. Ia pasti masih menempelkan gagang telepon ke telinga dan mulutnya, Lalu ia akan bercakap sendiri. Suatu percakapan satu arah.

*****

Dua tahun sudah berlalu, tapi aku masih bisa membayangkan suara pintu kamar Kak Risa yang dibuka  kencang dan langkahnya yang tergesa-gesa menuju ruang tamu. Lalu mereka, Kak Risa serta sang penelepon, akan berbincang hingga tengah malam. 

Tak ada yang pernah protes atas kebiasaan Kak Risa itu karena keluarga kami memang biasa terjaga hingga larut malam. Sampai sekarang pun kami masih seperti itu. Satu-satunya pembeda adalah Kak Risa telah pergi ke tempat nun jauh. Tak terjangkau, bahkan oleh dering telepon yang setia memanggilnya tiap pukul 10 malam.

****

Ibu masih rutin membayar tagihan telepon rumah setiap bulan, meski tak ada orang rumah yang benar-benar menggunakannya lagi.

Ibu  bilang ia ingin memberi ruang bagi sang penelepon untuk mengenang Kak Risa.

Ah, tapi aku rasa alasan utamanya lebih egois daripada itu. Alasan yang sama mengapa aku dan Adek juga tak pernah protes kepada Ibu perihal uang bulanan yang terbuang sia-sia,

Kami masih ingin merasakan jejak kehadiran Kak Risa, setidaknya melalui dering telepon larut malam itu.

Komentar

Postingan Populer